Rekan saya Budi bertanya pada saya “Perlukah Saya Akan Sebuah
Asuransi Jiwa?” Pertanyaan tersebut mengingatkan saya akan sebuah iklan
telepon gengam di televisi yang mengatakan “hari gini tidak punya
henpon” saya plesetkan “hari gini masih tanya perlu enggak asuransi
jiwa”. Kenapa begitu karena Budi ini lulusan dari sebuah universitas
beken di Inggris dan saat ini kerjanya di sebuah Bank terkenal di
Jakarta dalam posisi jabatan manager dan saya pikir pengetahuan dan
lingkungan dia pastinya sudah tahu akan hal-hal lain yang berhubungan
dengan pencarian solusi untuk menghadapi masa depan nanti baik pada saat
tua atau kemungkinan adanya suatu kejadian yang tiba-tiba sehingga dia
harus meninggalkan keluarga tercinta menghadap super bos yaitu Tuhan
YME. Apakah itu yang namanya Nilai Ekonomi, Rencana Keuangan Masa Depan,
Dunia Penuh Ketidakpastian dan hal yang lain. Saya berusaha memahami
Budi mengapa ada pertanyaan perlukah saya asuransi jiwa artinya mengapa
timbul pertanyaan tersebut, lalu terjadilah obrolan itu antar saya dan
Budi yang asyik di Starbucks Plaza Senayan.
Saya tanya sama Budi, berapa umur kamu sekarang. Dia katakan saat ini
umurnya 35 tahun lalu. Lalu Bagaimana kondisi Istri dan Anak. Dia
bilang Istri kerja di perusahaan swasta juga yaitu perusahaan konsultan
di Jakarta sebagai PR tukang haloo2 publik relation dengan umur 30 tahun
dan anaknya ada 2 orang yang pertama, seorang perempuan umur 10 tahun
saat ini kelas 4 di SD Al Azhar Kebayoran dan yang kedua kelas 1 SD di
sekolah yang sama. Lalu saya tanya lagi punya cita-cita apa sih nantinya
untuk kalian berdua dan juga bagi anak2. Dia bilang “tentunya ada
dong-bahkan segudang cita2nya”. Ini dia yang Budi inginkan:
1.. Aku mau pensiun umur 55 tahun dan setelah itu mau buka restoran kecil-kecilan di Jakarta.
2. Istriku mau pensiun juga dengan umur lebih cepat karena kalau aku buka usaha dia mau bantuin.
3. Anakku yang pertama perempuan selesai SMA mau aku kirim ke
Australia ambil sekolah bisnis dan yang nomer 2 laki2 selesai SMA mau
aku kirim ke Inggris kesekolahku dulu.
Lalu pertanyaan sederhana saya ajukan ke Budi, “Itu semua kan perlu
dana ?” Dia jawab “Ialah pasti – emangnya dateng dari langit, dan oleh
karena itulah aku dan istriku kerja untuk bisa meraih cita-citaku itu,
dari sekarang kami sudah mulai menabung sama cari sampingan income deh
kan masih ada waktu panjang 20 tahun lagi ya kan ?”.
Saya beri pertanyaan lagi yang menggelitik Budi, “Emangnya sekarang
udah cukup tabunganmu yang diambil dari gaji dan sampingan income kalian
berdua untuk dana sekolah anak-anak ke luar negeri sama buka restoran
nantinya ?” Budi jawab “Cukup sih belon tapi kita kan usaha dan doa sama
Tuhan semoga dikasih rezeki terus”
Kemudian saya tanya lagi “Budi kalau nabung dari pendapatan berdua
setiap bulan bisa berapa persen (%) ?” Sambil tersenyum dia bilang “he
he he maksimum 30% kadang2 lebih kecil kadang-kadang enggak kebagian
dipakai untuk anak-anak tuh”
Saya ajukan lagi pertanyaan pamungkas “Budi dengan cara begitu emang
20 tahun lagi dijamin punya dana cukup untuk cita-cita sekolah anak dan
usaha restoran, lalu gimana jika sebelum 20 tahun Super Boss panggil
kamu untuk menghadap, dan yakinkah Istri bisa gantikan posisi kamu
sebagai penghasil income dan bisa-bisa cita-cita tinggi tinggal
cita-cita aja lho”
Budi kasih respon yamg alamiah “Iya sih emang kalo mikir gitu suka
ngeri juga tapi yah kita jalanain aja dengan cari makan halal dan suka
nolong orang pasti Tuhan kasih jalan buat kita deh “
Saya tutup dengan suatu ajakan pada Budi “Budi maukah cita-citamu
dapat terwujud dengan menyediakan persedian dana yang disiapkan dari
sekarang berdasarkan kemampuan distribusi income kamu saat ini dimana
dana tersebut akan berfungsi saat nanti kamu pensiun ataupun jika
dipanggil super boss suatu saat, bentuknya sama seperti kamu nabung di
Bank”
Dengan jujur dan raut muka yang ingin tahu Budi menjawab “Maulah, lalu GIMANA CARANYA ?”
Dari obrolan itu bisa ditarik benang merah bahwasanya setiap orang
dan setiap keluarga punya tujuan hidup, punya cita2 yang tentunya ingin
terwujud nantinya tetapi ada kendala yaitu manusia itu ada batasan usia
untuk produktif dan juga ada batas bahwa setiap orang akan meninggal
hanya masalahnya kapan akan meninggal itu yang tidak bisa dipastikan
kapannya. Manusia bisa hidup terlalu panjang usianya atau mungkin pendek
usianya dan bisa terjadi selama perjalanan hidupnya, ada saatnya sakit,
ada kecelakaan yang semuanya itu perlu dana untuk menanggulanginya.
Ibarat mobil yang punya ban serep tetapi tidak pernah tahu kapan
pastinya ban serep itu digunakan tetapi di bagasi harus selalu ada ban
tersebut agar timbul rasa aman secara emosional maupun ekonomi jika
terjadi ban kempes di tengah perjalanannya.
Mobil punya nilai ekonomi maka manusiapun punya nilai ekonomi. Orang
suka dan bahkan merasa wajib untuk mengasuransikan mobil, rumah dan
barang lain yang bernilai ekonomi tetapi terkadang orang lupa
mengasuransikan nilai ekonomi yang utamanya yaitu dirinya sendiri.
Kijang Inova baru berkisar Rp.200 juta dan pemiliknya bersedia
mengeluarkan biaya Rp 6 juta pertahun untuk premi asuransi mobilnya
walau dengan resiko jika akhir tahun mobilnya masih mulus maka uang
tersebut akan melayang tidak kembali ke kantong pemilik mobil. Mengapa
itu terjadi karena mereka ingin rasa aman baik secara moril maupun
ekonomi. Lucunya untuk dirinya sendiri hal tersebut tidak terpikirkan
atau ada juga yang tidak mau menilai bahwa dirinya sebetulnya punya
nilai ekonomi yang nilainya bisa lebih dari Rp.200 juta bahkan mungkin
tidak bisa dinilai dengan uang.
Pertanyaan menggelitik “mengapa banyak orang yang sering menunda
melakukan persiapan sejak dini” padahal persiapan adalah bagian dari
suatu rencana. Dan banyak orang mengatakan bahwa ketidaksuksesan itu
kontribusinya datang dari karena tidak punyanya rencana atau tidak
merencanakan dengan baik sejak awal.
Memiliki asuransi jiwa adalah bagian dari suatu rencana, polis
asuransi jiwa adalah suatu alat untuk menanggulangi masalah, masalah
hilangnya nilai ekonomi seseorang dalam artian hilangnya atau
berkurangnya pendapatan / gaji seseorang baik karena masa pensiun
sehingga pendapatan tetap akan berkurang (stop bekerja regular).
Sedangkan biaya hidup tidak menurun pada saat tua apalagi jika terjadi
resiko sakit yang berkepanjangan yang perlu biaya besar, bisa juga
hilang pendapatan karena meninggal normal atau karena kecelakaan.
Bagaimana jika itu terjadi adakah persiapan sudah dimiliki seperti
perlunya ban serep di mobil kita yang tidak pasti kapan ban mobil kita
akan kempes.Intinya “Hidup penuh ketidakpastian dan ketidakpastian itu
adalah resiko lalu membuat ketidakpastian menjadi pasti bisa
ditanggulangi, maka diperlukan rencana bagaimana menaggulanginya dan
kita ketahui bersama bahwa persiapan adalah bagian dari suatu rencana.
Polis asuransi jiwa adalah persiapan, adalah suatu bagian dari rencana
untuk menghadapi resiko, resiko yang bisa diduga dan kita persiapkan
cara penanggulangannya akan membantu kita semua mencapai tujuan hidup
atau cita-cita hidup kita”
Obrolan saya dengan Budi di Starbuck diakhiri dengan kedamaian dan
ketentraman serta kerelaan dan berbuah munculnya Sebuah SOLUSI untuk
menanggulangi resiko ketidakpastian di masa depan. Cita-cita hidupnya
bersama keluarganya, dan dia sudah setuju menanda tangani satu kontrak
perlindungan asurasi jiwa selama 20 tahun.
Selamat untuk Budi dan juga buat Budi yang lain yang sudah punya
perlindungan dan selamat datang bagi Budi lain yang belum punya
perlindungan.
|
Prudential Always Listening. Always Understanding |